Sejarah Singkat PT Sritex
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) adalah salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, didirikan pada tahun 1966 di Solo, Jawa Tengah.
Berawal dari sebuah usaha perdagangan kain skala kecil, Sritex berkembang pesat menjadi pemain utama dalam industri tekstil dan garmen.
Pada 1980-an, Sritex mulai merambah sektor manufaktur dengan membangun pabrik pemintalan dan penenunan.
Perusahaan ini kemudian memperluas usahanya dengan menambah lini produksi pencelupan, pencetakan, hingga konfeksi, yang membuatnya mampu mengendalikan seluruh rantai produksi dari bahan baku hingga produk jadi.
Puncak kejayaan Sritex terjadi pada awal 2000-an ketika perusahaan ini menjadi pemasok seragam militer untuk berbagai negara, termasuk Indonesia, Jerman, dan Timur Tengah.
Ekspansi besar-besaran dilakukan dengan membangun fasilitas produksi modern dan merekrut ribuan tenaga kerja, menjadikan Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara.
Baca Juga: Bukalapak Tutup Marketplace, Kini Fokus Jual Produk Virtual
Mengapa PT Sritex Bangkrut?
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan bangkrut akibat kombinasi faktor internal dan eksternal yang melemahkan kondisi keuangannya.
Pada 2024, Sritex mengalami gagal bayar terhadap kreditur akibat utang yang menumpuk, sehingga perusahaan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Meskipun pengadilan mengesahkan perjanjian restrukturisasi utang melalui homologasi PKPU, Sritex gagal memenuhi kewajiban dalam skema yang telah disepakati.
Akhirnya, pada 1 Maret 2025, Pengadilan Niaga resmi menyatakan Sritex pailit dan memerintahkan pembubaran aset perusahaan untuk melunasi utang kepada kreditur.
Dampak kebangkrutan ini meluas, mulai dari pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan, terganggunya rantai pasokan industri tekstil, hingga hilangnya kepercayaan investor terhadap sektor manufaktur tekstil di Indonesia.
Dampak PT Sritex Bangkrut
Kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) berdampak besar terhadap tenaga kerja, industri tekstil, dan perekonomian nasional.
Sebanyak 10.665 karyawan kehilangan pekerjaan, terutama di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang menjadi pusat operasional perusahaan.
Gelombang PHK ini menurunkan daya beli masyarakat dan melemahkan sektor perdagangan serta jasa di sekitar kawasan industri.
Di sisi industri, banyak pemasok bahan baku seperti kapas, benang, dan bahan kimia kehilangan pasar utama, menyebabkan penurunan produksi hingga kebangkrutan sejumlah pemasok kecil.
Industri garmen dan manufaktur pakaian jadi yang bergantung pada pasokan kain dari Sritex juga mengalami dampak signifikan, melemahkan daya saing sektor tekstil dalam negeri.
Dari aspek keuangan, kebangkrutan ini meningkatkan risiko kredit macet di perbankan karena Sritex memiliki utang besar kepada beberapa bank nasional dan internasional.
Kepercayaan investor terhadap industri tekstil menurun setelah harga saham Sritex anjlok sebelum akhirnya dihapus dari Bursa Efek Indonesia.
Situasi ini memperburuk iklim investasi di sektor manufaktur yang sudah tertekan oleh persaingan global dan banjirnya produk impor murah.
Krisis dan Faktor PT Sritex Hingga Mengalami Pailit
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mengalami kebangkrutan akibat akumulasi masalah keuangan yang memburuk sejak pandemi COVID-19.
Pada 2019, perusahaan masih mencatat penjualan sebesar US$ 1,3 miliar dengan laba bersih US$ 85,32 juta, namun pada 2020 angka penjualan turun drastis menjadi US$ 847,5 juta, sementara beban pokok penjualan naik hingga US$ 1,22 miliar.
Kerugian semakin membesar pada 2021, mencapai US$ 1,08 miliar, dan utang perusahaan melonjak dari Rp 13,43 triliun pada 2019 menjadi Rp 26,2 triliun pada 2024.
Sritex sempat menghindari kebangkrutan setelah mencapai kesepakatan restrukturisasi utang pasca gugatan PKPU oleh CV Prima Karya pada 2022, tetapi tekanan finansial terus berlanjut.
Pada Oktober 2024, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon akibat gagal memenuhi kewajiban pembayaran, yang berujung pada putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Upaya kasasi ke Mahkamah Agung pun ditolak pada Desember 2024, membuat status pailitnya resmi dan berkekuatan hukum tetap.
Selain utang yang membengkak, kegagalan Sritex juga disebabkan oleh strategi ekspansi agresif yang tidak diimbangi dengan stabilitas keuangan serta persaingan ketat dengan produk impor.
Meskipun sempat mempertahankan tingkat produksi pada 70-80 persen, tekanan pasar dan tingginya beban utang membuat Sritex akhirnya menutup operasionalnya secara penuh pada 1 Maret 2025.
Apakah Sritex dapat Diselamatkan?
Meskipun Sritex bangkrut dan telah dinyatakan pailit, masih ada upaya untuk menyelamatkan Sritex. Kurator perusahaan sedang mencari investor potensial yang tertarik untuk mengambil alih aset perusahaan.
Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menjaga nilai aset pailit, termasuk menyewakan alat-alat berat yang dimiliki Sritex. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi kerugian dan menarik calon investor.
Jika ada investor baru yang bersedia mengambil alih, kemungkinan besar Sritex bisa berganti nama dan kembali beroperasi. Meskipun perusahaan telah pailit, merek dagang Sritex masih dapat dilindungi dan berpotensi digunakan kembali di masa depan.