Royalti menjadi bentuk penghargaan finansial yang wajib dilindungi dengan sistem perpajakan. 

Banyak masyarakat yang masih bingung soal penerapan, tarif, dan pihak yang wajib membayar pajak royalti.

Associe akan membahasnya di artikel ini.

 

Apa Itu Pajak Royalti?

Secara umum, royalti adalah imbalan berupa kompensasi finansial yang diberikan kepada pemilik hak cipta, paten, merek dagang, atau karya intelektual lainnya.

Pembayaran ini bertujuan agar pemilik karya mendapatkan apresiasi yang adil atas penggunaan hasil ciptaannya.

Dalam dunia bisnis, royalti bisa muncul dari berbagai sektor, seperti musik, film, karya tulis, hingga pemanfaatan sumber daya alam.

Penerima royalti berhak atas kompensasi tersebut berdasarkan kesepakatan atau perjanjian dengan pihak pengguna karya.

Pajak royalti adalah pungutan resmi negara yang dikenakan atas penghasilan royalti tersebut. 

Pengaturan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan yang telah diperbarui melalui UU HPP.

Dengan demikian, royalti yang diterima oleh pribadi maupun badan usaha dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

 

Objek Pajak Royalti

Objek pajak royalti mencakup imbalan yang diterima dari penggunaan atau pemanfaatan karya intelektual maupun hak tertentu.

Beberapa di antaranya meliputi:

  • Karya seni, sastra, paten, desain, atau merek dagang
  • Informasi ilmiah, teknikal, atau komersial
  • Rekaman suara atau gambar yang disalurkan melalui satelit, kabel, atau media serupa
  • Penggunaan film, pita video, atau pita suara untuk siaran televisi maupun radio
  • Hak penggunaan sebagian atau seluruh spektrum komunikasi radio

 

Subjek Pajak Royalti

Subjek pajak royalti adalah pihak yang menerima penghasilan berupa royalti, berbeda dengan objek pajak yang merujuk pada jenis penghasilan itu sendiri.

Subjek pajak dibedakan menjadi dua kategori utama:

 

Pajak Royalti Dalam Negeri

Subjek pajak dalam negeri meliputi orang pribadi, badan usaha, maupun Badan Usaha Tetap (BUT) yang beroperasi di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan PPh Pasal 23, tarif pajak royalti dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto penghasilan.

Tarif ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Apabila penerima royalti tidak memiliki NPWP, maka tarifnya akan dinaikkan, bahkan bisa mencapai 30% hingga 100% dari ketentuan normal.

Meski begitu, terdapat pengecualian, salah satunya pada pihak perbankan sebagai subjek pajak dalam negeri yang tidak dikenai pemotongan pajak ini.

 

Pajak Royalti Luar Negeri

Subjek pajak luar negeri dikenai aturan berbeda.

Sesuai Pasal 26 UU PPh, penghasilan berupa royalti yang diterima oleh pihak di luar negeri dikenakan tarif 20% dari bruto.

Namun, tarif ini dapat berubah mengikuti perjanjian tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku antarnegara.

Wajib pajak luar negeri tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT di Indonesia.

Sebaliknya, pihak dalam negeri yang melakukan pembayaran wajib melakukan pemotongan, penyetoran, serta pelaporan pajak atas transaksi tersebut.

 

Tarif Pajak Royalti

15% → Wajib Pajak dalam negeri dengan NPWP

20% → Wajib Pajak dalam negeri tanpa NPWP

Sesuai tarif P3B → Wajib Pajak luar negeri

Untuk wajib pajak dalam negeri, tarif yang dikenakan adalah 15% dari jumlah bruto penghasilan, dengan catatan tarif akan naik bila tidak memiliki NPWP.

Bagi wajib pajak luar negeri, tarif pajak yang dikenakan sebesar 20% dari bruto sesuai Pasal 26.

Akan tetapi, tarif bisa lebih rendah apabila negara asal penerima royalti memiliki perjanjian P3B dengan Indonesia.

Aturan mengenai tarif ini dipertegas dalam PMK No.141/PMK.03/2015.

Melalui regulasi ini, dasar pengenaan pajak dihitung dari penghasilan bruto yang diterima, dengan pengecualian pada pihak perbankan.

Mekanisme pemotongan dilakukan oleh pihak pemberi royalti, kemudian disetorkan kepada negara lewat lembaga pengumpul royalti seperti LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).

 

Berikut contoh alurnya:

Musisi/Pencipta Lagu → mendaftarkan karya ke LMKN.

Pengguna Lagu (misalnya radio, TV, kafe, platform streaming) → membayar royalti ke LMKN.

LMKN → memotong pajak royalti sesuai ketentuan.

LMKN → menyetorkan pajak ke negara & memberikan bukti potong.

LMKN → menyalurkan royalti bersih ke musisi/pencipta lagu.

Musisi/Pencipta Lagu → melaporkan penerimaan royalti dalam SPT Tahunan.

 

Cara Menghitung Pajak Royalti dengan Contoh

Perhitungan pajak royalti dilakukan dengan mengalikan tarif pajak dengan jumlah bruto penghasilan royalti.

Dasar Pengenaan Pajak adalah total royalti yang diterima tanpa dikurangi biaya apapun.

Misalnya, seorang penulis menerima royalti dari penjualan bukunya sebesar Rp100.000.000 dalam satu tahun.

Karena penulis merupakan wajib pajak dalam negeri dan memiliki NPWP, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 15%.

Maka, perhitungannya menjadi:
Pajak terutang = 15% x Rp100.000.000 = Rp15.000.000

Dengan begitu, dari total royalti yang diterima, penulis wajib membayar pajak sebesar Rp15.000.000.

Angka ini akan berbeda jika penulis tidak memiliki NPWP atau apabila penerima royalti berasal dari luar negeri dengan tarif sesuai P3B.

 

FAQ Tentang “Pajak Royalti”

Apa itu pajak royalti?

Pajak royalti adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas imbalan royalti yang diterima oleh wajib pajak pribadi maupun badan.

Siapa yang wajib membayar pajak royalti?

Wajib pajak orang pribadi, badan, atau Badan Usaha Tetap di Indonesia, serta penerima royalti luar negeri sesuai ketentuan Pasal 23 dan 26 UU PPh.

Berapa tarif pajak royalti dalam negeri?

Tarif pajak royalti dalam negeri adalah 15% dari penghasilan bruto bagi wajib pajak yang memiliki NPWP.

Bagaimana tarif pajak royalti luar negeri?

Tarifnya 20% dari bruto, atau sesuai perjanjian P3B antara Indonesia dengan negara asal penerima royalti.

Apakah ada pengecualian pajak royalti?

Ya, salah satunya adalah pihak perbankan dalam negeri yang tidak dikenakan pemotongan pajak royalti.

 

Baca Juga:

Vidi Aldiano Dituntut Rp24,5 Miliar Karena Lagu Nuansa Bening

Hak Cipta dan Royalti: Pelajaran dari Kasus Agnez Mo dan Ari Bias