Ringkasan dari Artikel: Panic Buying Di Tengah Krisis

  • Panic buying adalah perilaku membeli berlebihan karena rasa takut kelangkaan.
  • Pemicu utama: krisis politik, pandemi, kenaikan harga, dan gangguan distribusi.
  • Konteks Indonesia 2025: dipicu keresahan publik di tengah krisis politik.
  • Dampak: kelangkaan barang, kenaikan harga, dan tekanan ekonomi masyarakat kecil.
  • Solusi: transparansi pemerintah, edukasi publik, distribusi lancar, serta kontrol diri konsumen.

 

Fenomena panic buying kembali menjadi perhatian di Indonesia seiring gelombang demonstrasi dan krisis politik yang memanas.

Banyak warga memilih menimbun kebutuhan pokok karena khawatir ketersediaan akan terganggu. 

Apa itu panic buying dan mengapa hal ini sering terjadi di situasi krisis?

Associe akan membahasnya di artikel ini.

 

Apa Itu Panic Buying?

Panic buying adalah perilaku membeli barang secara berlebihan akibat rasa takut atau cemas terhadap kelangkaan.

Fenomena ini sering muncul saat masyarakat menghadapi kondisi tidak pasti, baik politik, ekonomi, maupun bencana.

Dikutip dari Investopedia, panic buying ditandai dengan lonjakan permintaan secara tiba-tiba yang tidak seimbang dengan stok.

Fenomena panic buying bukan sekadar perilaku belanja biasa.

Ia dapat memicu efek berantai, mulai dari harga melambung hingga distribusi pasokan barang terganggu.

 

Penyebab Fenomena Panic Buying

Fenomena panic buying muncul dari kombinasi faktor psikologis, sosial, hingga kondisi eksternal. 

Secara umum, ada 4 penyebab utama:

  1. Situasi krisis politik
  2. Pandemi atau bencana alam
  3. Kenaikan harga kebutuhan pokok
  4. Gangguan distribusi logistik

 

Situasi Krisis Politik

Pada 2025 ini, Indonesia menghadapi gelombang demonstrasi yang meluas setelah isu tunjangan DPR dan kematian seorang pengemudi ojek online memantik kemarahan publik.

Protes terjadi di 32 provinsi, diwarnai kerusuhan, korban jiwa, dan bentrokan dengan aparat.

Di tengah kondisi tersebut, sebagian masyarakat mulai membeli sembako dalam jumlah lebih banyak dari kebutuhan normal.

Aksi ini mulai terlihat di Jakarta. Dinas KPKP DKI Jakarta menegaskan stok pangan aman untuk dua bulan ke depan, warga diminta tidak melakukan panic buying meski ada demonstrasi.

Pemerintah memastikan stok, khususnya beras non-premium, cukup hingga akhir Oktober, namun keresahan publik tetap memicu pola belanja berlebihan.

 

Pandemi/Bencana Alam

Selain krisis politik, bencana alam dan pandemi juga sering menjadi pemicu panic buying. Kita masih ingat pada awal pandemi COVID-19 tahun 2020.

Masyarakat di berbagai negara berbondong-bondong membeli masker, hand sanitizer, hingga bahan pokok.

Rak supermarket kosong dalam hitungan jam akibat kepanikan massal.

Kondisi serupa juga dapat terjadi saat bencana besar melanda, misalnya gempa bumi atau banjir besar. 

Panic buying lebih banyak dipicu oleh ketidakpastian akan akses logistik dan rasa takut tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Kenaikan Harga

Pada awal tahun 2022, kelangkaan minyak goreng terjadi di Indonesia ketika harga naik dari sekitar Rp14.000 menjadi lebih dari Rp20.000 per liter.

Ini dua kali lipat dari sebelumnya — memicu masyarakat antre panjang dan melakukan pembelian dalam jumlah besar.

Fenomena itu bukan hanya terjadi karena stok terbatas, melainkan juga dipicu oleh persepsi bahwa harga akan terus naik.

Akibatnya, permintaan makin tinggi dan pasokan makin cepat habis.

 

Gangguan Distribusi Logistik

Gangguan pada jalur distribusi juga dapat mendorong panic buying.

Misalnya ketika terjadi pemblokiran jalan karena aksi demonstrasi, distribusi barang bisa terhambat.

Walaupun stok di gudang cukup, masyarakat tetap panik karena tidak tahu kapan pasokan akan sampai ke pasar.

Gangguan distribusi biasanya membuat kepanikan lebih cepat menyebar karena masyarakat melihat langsung rak kosong atau keterlambatan barang di pasaran.

 

Dampak Panic Buying Terhadap Ekonomi

Panic buying memberi tekanan besar pada ekonomi karena memicu lonjakan permintaan, inflasi, dan kelangkaan barang.

Panic buying membuat barang terlihat langka di pasaran meski stok sebenarnya masih ada di gudang.

Perilaku menimbun juga memperburuk distribusi karena sebagian orang membeli berlebihan, sementara konsumen lain kesulitan mendapatkan barang.

Dampaknya, timbul rasa tidak adil dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat.

 

Cara Mengatasi Panic Buying

Untuk mencegah dampak buruk panic buying, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  • Pemerintah menjaga transparansi informasi mengenai stok dan distribusi pangan
  • Edukasi publik melalui kampanye belanja bijak
  • Penegakan hukum terhadap penimbunan barang secara ilegal
  • Memperkuat jalur distribusi agar tidak mudah terganggu oleh kondisi krisis
  • Masyarakat mengendalikan diri dengan membeli sesuai kebutuhan

 

FAQ Tentang “Apa Itu Panic Buying?”

Apakah panic buying selalu terjadi saat krisis?

Tidak selalu, namun krisis politik, bencana, atau pandemi sering menjadi pemicu utamanya.

Apa perbedaan panic buying dengan belanja grosir biasa?

Belanja grosir dilakukan terencana, sedangkan panic buying didorong rasa panik berlebihan.

Apakah panic buying bisa memicu inflasi?

Ya, lonjakan permintaan mendadak bisa membuat harga naik tajam dan mempengaruhi inflasi.

Bagaimana cara masyarakat menghindari panic buying?

Dengan membeli sesuai kebutuhan, tidak terpancing kabar simpang siur, dan percaya pada data resmi pemerintah.

Apakah panic buying berbahaya bagi ekonomi nasional?

Berbahaya, karena bisa mengganggu distribusi, menaikkan harga, dan memperburuk ketidakadilan sosial.

 

Baca Juga:

PPATK Blokir Rekening Dormant, Simak Fakta & Data Terbarunya

Kini QRIS Bisa Dipakai Di Jepang, Bagaimana Negara Lain?