Ringkasan Artikel: Jenis PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah proses penghentian hubungan kerja yang diatur secara hukum di Indonesia. Terdapat empat jenis PHK yang berlaku, yaitu PHK disipliner, PHK karena alasan ekonomi, PHK sukarela, dan PHK karena kondisi khusus. Masing-masing memiliki syarat dan konsekuensi hukum tersendiri.
PHK adalah hal yang sensitif dan sering menimbulkan kecemasan. Tidak hanya bagi karyawan, tapi juga bagi perusahaan.
Untuk memahami perbedaan situasi dan hak-hak yang menyertainya, penting bagi Anda mengetahui jenis PHK yang berlaku di Indonesia.
Associe akan membahasnya di artikel ini.
Apa Itu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)?
Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK adalah penghentian hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban kedua belah pihak.
PHK bisa terjadi atas dasar kesepakatan bersama, inisiatif perusahaan, atau permintaan karyawan.
PHK diatur dalam beberapa regulasi utama, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui melalui Undang-Undang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
Regulasi ini menjelaskan syarat, proses, dan hak-hak karyawan dalam proses PHK.
Jenis-Jenis PHK
Jenis PHK dapat dikategorikan berdasarkan alasan terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Berikut 4 jenis PHK yang umum terjadi di Indonesia:
- PHK Disipliner
- PHK Ekonomi
- PHK Sukarela
- PHK Khusus
PHK Disipliner (Pelanggaran/Kesalahan Karyawan)
PHK jenis ini terjadi ketika karyawan melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan perusahaan.
Misalnya, tindakan penipuan, pencurian, kekerasan, atau penggunaan narkoba saat bekerja. Syaratnya adalah perusahaan wajib membuktikan adanya pelanggaran dan memberikan peringatan atau melakukan pemanggilan secara resmi.
Contoh kasus:
Seorang karyawan diketahui menyalahgunakan akses sistem perusahaan untuk keuntungan pribadi. Setelah dilakukan investigasi internal dan ditemukan bukti, perusahaan memberhentikannya tanpa kompensasi pesangon.
Regulasi terkait tertuang dalam Pasal 52 sampai 54 PP No. 35 Tahun 2021.
PHK Ekonomi (Alasan Ekonomi/Efisiensi)
PHK karena alasan ekonomi biasanya terjadi saat perusahaan mengalami kerugian terus-menerus atau harus melakukan efisiensi untuk bertahan.
Dalam kondisi ini, PHK menjadi salah satu cara perusahaan untuk menjaga kelangsungan operasional.
Contoh kasus:
Perusahaan manufaktur mengalami penurunan produksi akibat pandemi. Untuk mengurangi biaya operasional, manajemen melakukan efisiensi tenaga kerja.
Dasar hukum PHK ini dapat ditemukan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a dan b UU Cipta Kerja serta Pasal 46 PP No. 35 Tahun 2021.
PHK Sukarela
PHK ini terjadi atas inisiatif karyawan, seperti mengundurkan diri secara resmi, mengajukan pensiun dini, atau tidak kembali bekerja tanpa alasan yang jelas setelah cuti panjang.
Meskipun atas kehendak sendiri, prosesnya tetap perlu mengikuti aturan resmi agar karyawan tidak kehilangan hak-hak tertentu.
Contoh kasus:
Seorang karyawan yang sudah bekerja selama 10 tahun memutuskan pensiun dini dan mengajukan surat pengunduran diri dengan masa pemberitahuan sesuai kontrak kerja.
PHK sukarela diatur dalam Pasal 50 dan 56 PP No. 35 Tahun 2021.
PHK Khusus
PHK khusus mencakup kondisi tertentu di luar kendali perusahaan atau karyawan, seperti meninggal dunia, force majeure, atau adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Contoh kasus:
Seorang karyawan dinyatakan bersalah dalam kasus pidana dan dijatuhi hukuman penjara lebih dari dua tahun. Perusahaan dapat mengakhiri hubungan kerja berdasarkan dasar hukum yang berlaku.
Jenis ini diatur dalam Pasal 154A UU Cipta Kerja dan Pasal 36 PP No. 35 Tahun 2021.
Hak Karyawan yang Terkena PHK
Karyawan yang terkena PHK berhak atas sejumlah kompensasi, antara lain uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH).
Besarnya tergantung pada alasan PHK dan masa kerja.
Jika PHK dilakukan karena kesalahan berat, kompensasi bisa tidak diberikan. Namun dalam kasus PHK ekonomi atau pensiun, hak-hak ini tetap wajib dibayarkan.
Bagaimana Menghindari atau Menyikapi PHK?
Meskipun PHK tidak selalu bisa dihindari, Anda bisa mengurangi resikonya dengan menjaga kinerja dan profesionalisme, serta terus mengembangkan kompetensi dan keterampilan.
Jika PHK terjadi, penting untuk memahami hak-hak Anda dan berkomunikasi secara terbuka dengan HRD, bahkan mempertimbangkan konsultasi hukum.
Dilansir dari Indeed, hal yang direkomendasikan adalah segera pastikan hak-hak Anda terkait asuransi kesehatan, gaji terakhir, dan pesangon, lalu ajukan tunjangan pengangguran.
Setelah itu, fokuslah pada persiapan mencari pekerjaan baru: kumpulkan portofolio kerja, minta referensi, perbarui resume, dan siapkan surat lamaran yang efektif.
FAQ Tentang “Jenis PHK”
Apa saja jenis PHK yang diakui secara hukum di Indonesia?
Empat jenis PHK di Indonesia meliputi PHK disipliner, PHK ekonomi, PHK sukarela, dan PHK khusus.
Apakah karyawan yang mengundurkan diri tetap mendapat pesangon?
Tidak semua. Dalam PHK sukarela, pesangon biasanya tidak diberikan, kecuali disepakati lain dalam kontrak atau perjanjian kerja bersama.
Apa yang harus dilakukan jika PHK dianggap tidak adil?
Anda bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) jika merasa PHK tidak sesuai prosedur atau melanggar hak.
Berapa besar pesangon yang diterima karyawan terkena PHK?
Besarnya bervariasi tergantung alasan PHK dan masa kerja. Rumus umumnya diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021.
Apakah PHK karena efisiensi bisa ditolak karyawan?
Bisa diproses ke mediasi jika dianggap tidak sesuai syarat. Namun perusahaan tetap bisa melanjutkan PHK jika ada dasar hukum yang kuat.
Referensi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021
Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja
https://peraturan.bpk.go.id/Details/161904/pp-no-35-tahun-2021
How To Handle Getting Laid Off at Work in 10 Steps | Indeed.com
https://www.indeed.com/career-advice/career-development/getting-laid-off
Baca Juga:
Apa Itu Quiet Quitting? Fenomena Kerja Dalam Kalangan Gen Z
Alasan Resign yang Masuk Akal dari Sisi HR