Ringkasan Artikel: Hustle Culture

Hustle culture adalah budaya kerja yang memuji kerja berlebihan sebagai prestasi. Berikut ringkasannya:

  • Dampaknya bisa positif, namun cenderung lebih banyak risiko kesehatan mental dan fisik.
  • Data menunjukkan hubungan antara jam kerja panjang dan penurunan kesejahteraan karyawan.
  • HR berperan penting melalui kebijakan seperti Right to Disconnect.
  • Karyawan dapat menghindari budaya ini dengan menjaga batas dan merawat diri.

 

Budaya kerja modern sering menuntut kecepatan dan produktivitas tinggi yang kadang sulit diimbangi dengan kehidupan pribadi.

Fenomena ini memunculkan istilah hustle culture yang semakin ramai dibicarakan di kalangan profesional dan HR.

Bagaimana fenomena ini terbentuk dalam dunia kerja?

Associe akan membahasnya di artikel ini.

 

Apa Itu Hustle Culture?

Mengutip dari Urban Dictionary, hustle culture adalah glorifikasi bekerja berjam-jam untuk mencapai tujuan profesional, sering kali mengorbankan kesehatan, hubungan pribadi, dan kesejahteraan mental.

Dalam praktiknya, budaya ini memandang kerja keras yang berlebihan sebagai kebanggaan dan tolok ukur keberhasilan.

Fenomena ini semakin terlihat dalam era digital ketika batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Selama pandemi COVID-19, banyak karyawan bekerja dari rumah dan mengalami beban kerja lebih panjang. Tekanan untuk tampil produktif sering membuat karyawan mengabaikan perawatan diri, tidur, bahkan waktu untuk keluarga.

Data menunjukkan dampak nyata budaya ini terhadap kesehatan mental. WHO mengakui burnout sebagai masalah pekerjaan sejak 2019.

Survei Milieu Insight terhadap 1.000 responden di Singapura, Indonesia, dan Filipina mengungkap 29% pekerja yang bekerja lebih dari 60 jam seminggu mengalami kesehatan mental yang buruk, jauh di atas rata-rata nasional 11%.

Hal ini menunjukkan jam kerja berlebihan memiliki konsekuensi serius terhadap kesejahteraan pekerja.

 

Ciri-Ciri Hustle Culture

Budaya ini dapat dikenali dari beberapa tanda yang muncul di lingkungan kerja:

  • Memuji kerja lembur atau hadir di luar jam kerja sebagai bentuk komitmen
  • Mengorbankan waktu istirahat dan interaksi sosial demi pekerjaan
  • Tekanan dari manajemen untuk selalu “siap siaga” terhadap tugas dan target
  • Fokus pada pencapaian jangka pendek tanpa mempertimbangkan kesehatan jangka panjang
  • Sulit memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi

 

Dampak Hustle Culture

Dampak Positif Hustle Culture

Tidak semua aspek budaya ini buruk. Beberapa individu merasa termotivasi untuk berkembang dan meraih prestasi lebih tinggi.

Karyawan yang menyukai tantangan kadang mendapatkan kepuasan dari pencapaian besar yang diraih melalui kerja keras.

Dalam konteks tertentu, budaya ini dapat mendorong inovasi dan kemajuan. Namun, efek positif ini jarang bertahan lama tanpa risiko kelelahan.

 

Dampak Negatif Hustle Culture

Sayangnya, dampak negatif hustle culture sering kali lebih dominan.

Tekanan berlebihan memicu stres berkepanjangan, burnout, dan menurunnya kualitas hidup.

Dampak spesifik yang dapat terjadi antara lain:

  • Stres dan burnout: kelelahan mental dan emosional akibat beban kerja berlebihan.
  • Kualitas hidup menurun: waktu untuk keluarga, teman, dan diri sendiri berkurang drastis.
  • Masalah kesehatan fisik dan mental: gangguan tidur, kecemasan, hingga depresi.
  • Produktivitas jangka panjang turun: karyawan yang kelelahan sulit menjaga performa stabil.
  • Tingkat turnover karyawan lebih tinggi: karyawan memilih keluar karena merasa tidak dihargai atau lelah.
  • Keterikatan rendah: rasa memiliki dan loyalitas terhadap perusahaan melemah.

 

Peran HR dalam Mengelola Hustle Culture

Mengelola budaya ini menjadi tantangan penting bagi departemen HR.

Mereka perlu memastikan kebijakan perusahaan tidak sekadar mengejar angka, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan karyawan.

Salah satu pendekatan yang mulai mendapat perhatian adalah penerapan Right to Disconnect, yang memberi karyawan hak untuk tidak dihubungi di luar jam kerja.

Negara-negara seperti Prancis, Belgia, dan Australia telah memiliki aturan resmi terkait kebijakan ini, sedangkan di Indonesia masih sebatas inisiatif perusahaan. 

HR dapat mengambil langkah seperti memperjelas tujuan kerja, melibatkan pimpinan untuk mendukung keseimbangan hidup, dan mengubah bahasa kerja lembur menjadi penghargaan terhadap produktivitas yang sehat.

 

Cara Menghindari Hustle Culture Bagi Karyawan

Karyawan juga memiliki peran dalam menjaga keseimbangan hidup.

Penting untuk menetapkan batas yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Seperti menentukan waktu khusus untuk istirahat atau mematikan notifikasi setelah jam kerja.

Mengutamakan perawatan diri, membagi beban kerja, dan membicarakan kendala kepada atasan dapat mengurangi tekanan.

Jangan ragu untuk meminta dukungan HR jika merasa kewalahan.

 

FAQ Tentang “Hustle Culture”

Apa yang dimaksud dengan hustle culture?

Budaya kerja yang memuji kerja berjam-jam demi kesuksesan profesional, sering mengorbankan kesehatan dan kehidupan pribadi.

Mengapa hustle culture dianggap berbahaya?

Karena dapat memicu stres, burnout, dan penurunan kesehatan mental jika berlangsung terus-menerus.

Apakah ada sisi positif dari hustle culture?

Ada, yaitu dorongan untuk mencapai target dan mengembangkan karier, tetapi tetap berisiko jika tidak dikelola.

Bagaimana peran HR dalam mengatasi budaya ini?

HR bertugas membuat kebijakan yang mendukung keseimbangan hidup, seperti edukasi dan penerapan Right to Disconnect.

Bagaimana cara karyawan melindungi diri dari budaya ini?

Dengan menetapkan batas waktu kerja, merawat kesehatan, dan meminta dukungan jika merasa terbebani.

 

Baca Juga:

Apa Itu Overqualified? Pertimbangan Terima atau Tolak

Apa Itu Test MBTI, Indikator, dan 16 Tipe Kepribadiannya